Ads 468x60px

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Tuesday, December 27, 2011

Bisnis pun perlu empati

Memiliki anak yang perlu penanganan khusus memang perlu kesabaran khusus. Baik mengenai biaya penanganannya maupun penanganan anaknya sendiri.
Pagi tadi berkunjung ke suatu lembaga pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di Depok. Saya dan suami sedang ada di sana, suatu kebetulan. Di ruang tunggu terdapat tv yang menampakkan kegiatan belajar para anak berkebutuhan khusus.
Sedang asiknya memperhatikan kegiatan belajar melalui tv di ruang tunggu, muncul ibu muda, sepertinya anaknya salah satu murid di sana. Ia mengeluarkan sejumlah uang, nominal yang lumayan juga, sepertinya untuk pembayaran uang pendidikan anaknya di sana. Dari pembicaraan dengan pegawai di sana, tahulah saya, bahwa si ibu bermaksud untuk berhenti menggunakan jasa pendidikan untuk anaknya di sana.
“Mba, ini uang pembayaran bulan ini. Saya bisa ketemu dengan pemiliknya nggak mba, ada yang mau saya bicarakan” tanya si ibu.

“​Ohh maaf bu, ibu nya ada hari senin, ada apa ya bu?” Jawab si pegawai. “Aduh, saya juga belum jadwalin assessment ya bu” kata pegawainya
“Bulan ini anak saya mau istirahat dulu belajar di sini” kata si ibu.
“Maksud ibu cuti?” Tanya si pegawai.
“Bukan, berhenti dulu sementara waktu” jawab si ibu.
“Sayang bu, kenapa nggak cuti aja dulu, nanti kalau cuti, per bulan ibu hanya bayar Rp. 180.000,- maksimal cuti 3 bulan, kalau ibu keluar, nanti harus assessment lagi Rp. 300.000,- bayar uang pangkal Rp. 600.000,- tiap bulan Januari naik lho bu”
“Iya deh mba, anak saya berhenti saja dulu, gampang nanti kalau mau masuk lagi, mba nya tadi kan sudah menjelaskan caranya, biayanya, sampaikan terima kasih kami ke guru-guru yang menangani anak saya.” Jawab si ibu mantap.
Saya mencoba untuk menebak nebak apa yang ada dalam benak ibu tadi. Seandainya saya jadi ibu tersebut, saya kok kesal mendengarkan penjelasan pegawai tadi. Terkesan tidak ada empati terhadap kesulitan yang mungkin dirasa si ibu tadi sebagai pengguna jasa lembaga tersebut. Yang saya dengar kok hanya penekanan kepada berapa rupiah yang harus dikeluarkan para orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus tadi.
Saya melihat sendiri, besarnya uang yang si ibu tadi bayarkan setiap bulannya ke lembaga tersebut. Padahal untuk memasukkan anaknya ke lembaga tersebut, pasti mengorbankan banyak kebutuhan keluarga si ibu tadi. Alangkah baiknya jika ada unsur empati pada saat ibu tadi memutuskan anaknya untuk berhenti.
Dari segi kebutuhan, si ibu butuh lembaga tersebut untuk menangani anaknya yang berkebutuhan khusus, di sisi lain, sebenarnya lembaga itu butuh pula anak-anak berkebutuhan khusus yang belajar di sana, dimana untuk belajar disana orang tua mereka menyisihkan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Sinergi saling membutuhkan bukan?.
Ada rasa miris dalam hati saya. Mempunyai anak berkebutuhan khusus pasti bukan keinginan setiap orang. Dan bagi orang tua yang memiliki anak-anak khusus ini, pasti akan berupaya maksimal untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang khusus. Banyak kata “seandainya” berkeliaran dalam benak saya melihat kejadian yang kurang lebih berjalan hanya berdurasi antara 5 menit sampai 10 menit tadi.
Seandainya si pegawai menelpon pemiliknya, karena tadi jelas-jelas sang ibu mengutarakan maksudnya untuk bertemu dengan pemiliknya. Mungkin sang ibu justru tadinya akan mengucapkan terima kasih kepada pemilik lempaga pendidikan khusus ini.
Kok saya merasa kurangnya personal touch di sini… Padahal melihat anak-anak yang datang di sana menimbulkan emosi tersendiri di benak saya.
Bisa jadi sedikit lip service bisa mengurangi kesempatan sang ibu tadi untuk berniat kembali mempercayakan anaknya belajar di sana. Memang, dari segi butuh tak butuh, para orang tua ini butuh lembaga ini, karena keterbatasan anak-anak mereka.
Menurut saya, bisnis ini bisnis yang perlu hati, perlu empati, karena pengguna jasa lembaga ini adalah anak-anak yang memang perlu diperlakukan dengan hati. Dengan empati.
Menurut saya, 10 menit mengorbankan pulsa telepon, akan dapat menghilangkan kesan bahwa lembaga ini hanya memanfaatkan para orang tua anak-anak yang berkebutuhan khusus ini. Siapa tahu, para orang tua anak-anak ini akan merasa bahwa lembaga ini benar-benar peduli dengan anak-anak mereka. Tidak hanya peduli kepada sejumlah uang yang para orang tua bayarkan ke lembaga ini.
Seandainya…
Pada saat si ibu tadi berniat untuk keluar, paling tidak, pegawai sudah dilatih untuk menunjukkan kepedulian terhadap pengguna jasanya, meskipun itu hanya unsur basa basi, setidaknya menanyakan penyebab berhenti menggunakan jasa lembaga ini, menjelaskan perkembangan pendidikan anaknya disini, siapa tau, si ibu tadi akan berfikir ulang untuk berhenti menggunakan jasa lembaga ini.
Dari 10 menitan kejadian tadi, ada pelajaran berharga yang secara tidak sengaja saya petik.
Berbisnis apapun, perlu empati. Meskipun jasa yang kita tawarkan adalah jasa yang sangat dibutuhkan penggunanya. Bahkan menurut saya walaupun untuk jasa yang saking sangat dibutuhkan oleh si penggunanya, sampai-sampai hanya sedikit pilihan tersisa, “mau bagaimana lagi, karena saya tidak ada pilihan lainnya”
Mudah-mudahan para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus diberikan rizki khusus, kesabaran dan kekuatan khusus karena mereka memiliki anak-anak yang sangat khusus. Dan yang pasti Tuhan pun menitipkan anak-anak khusus hanya kepada orang tua khusus.

0 comments:

Post a Comment